Salah satu fenomena yang cukup memprihatinkan pada zaman kita saat ini adalah rendahnya semangat dan motivasi untuk menuntut ilmu agama. Ilmu agama seakan menjadi suatu hal yang remeh dan terpinggirkan bagi mayoritas kaum muslimin. Berbeda halnya dengan semangat untuk mencari ilmu dunia. Seseorang bisa jadi mengorbankan apa saja untuk meraihnya. Kita begitu bersabar menempuh pendidikan mulai dari awal di sekolah dasar hingga puncaknya di perguruan tinggi demi mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak. Mayoritas umur, waktu dan harta kita, dihabiskan untuk menuntut ilmu dunia di bangku sekolah. Bagi yang menuntut ilmu sampai ke luar negeri, mereka mengorbankan segala-galanya demi meraih ilmu dunia: jauh dari keluarga, jauh dari kampung halaman, dan sebagainya. Lalu, bagaimana dengan ilmu agama?
Definisi Ilmu
Secara bahasa, Al-‘ilm adalah lawan dari Al-jahl (kebodohan) iaitu mengetahui sesuatu dengan hakikat kedudukan yang sebenarnya berdasarkan maklumat pengetahuan yang pasti.
Secara istilah, dijelaskan oleh sebahagian ulama bahawa ilmu adalah ma’rifah (pengetahuan) yang merupakan lawan kepada al-jahl (ketidaktahuan). Menurut ulama yang lainnya, ilmu itu lebih jelas dari apa yang diketahui.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah, shahih).
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebagian orang muslim saja.
Lalu, “ilmu” apakah yang dimaksud dalam hadits ini? Penting untuk diketahui bahwa ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an atau As-Sunnah (Hadits), maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
Satu hal yang telah kita ketahui bahawa yang diwariskan oleh para
Nabi hanyalah ilmu tentang syari’at Allah ‘Azza wa Jalla, bukan yang
lainnya. Maka para Nabi tidaklah mewariskan ilmu teknologi kepada
manusia atau yang berkaitan dengannya, bahkan ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam datang ke Madinah, beliau mendapati
orang-orang sedang ‘mengawinkan’ pokok kurma. Beliau mengatakan kepada
mereka bahawa perkara tersebut tidak diperlukan, lalu mereka pun
mengikuti ucapan beliau dan tidak mengawinkannya, akan tetapi pokok
kurma itu menjadi seakan bermasalah, lalu kemudian Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam pun berkata kepada mereka:
Seandainya perkara ini termasuk ilmu yang ter-puji, maka pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah orang yang paling mengetahui tentangnya, kerana orang yang paling terpuji dengan ilmu dan amalnya adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Lalu, “ilmu” apakah yang dimaksud dalam hadits ini? Penting untuk diketahui bahwa ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an atau As-Sunnah (Hadits), maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا، وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan
dinar atau dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu, maka siapa yang
telah mengambilnya, maka dia telah mengambil bahagian yang banyak.”
(Sunan Abi Dawud, no. 3641. At-Tirmidzi, no. 2682)
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُم
“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian.” (Shahih Muslim, no. 2362)
Seandainya perkara ini termasuk ilmu yang ter-puji, maka pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah orang yang paling mengetahui tentangnya, kerana orang yang paling terpuji dengan ilmu dan amalnya adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
No comments:
Post a Comment